Ahlussunnah Wal Jama'ah
Oleh : KH. M. Azizi Hasbullah
Aswaja
(Ahlussunnah wal Jama’ah) pada zaman sekarang diklaim kelompok
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah serta mazdhab empat saja, mengapa demikian?
Padahal, keberadaan dua kelompok serta empat madzhab tersebut tidak
pernah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, bahkan imam-imam mazdhab
baru lahir jauh setelah periode Nabi Muhammad SAW.Untuk menjawab
pertanyaan ini, diperlukan kajian yang mengupas tuntas tentang
permasalahan ini. Risalah ini sekedar sebagai pengantar memahami hal
tersebut.
Berlatar belakang dari sejumlah hadis, diantaranya adalah hadis yang
disebutkan dalam Sunan Abi Dawud IV/210, Rasulullah saw. bersabda :
فَإنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ المهديين الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ – رواه أبو داوود
Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelah
wafatku, ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian
berpegangan dengan sunnahku dan sunah khulafa’ al-rasyidin
(khalifah-khalifah atau para pengganti Rasul yang beroleh petunjuk),
berpeganglah dengannya dengan kuat dan gigitlah dengan gigi gerahammu.
(HR. Abu Dawud)
Dalam Sunan Tirmidzi V/26 juga disebutkan sabda Rasul :
وَإِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى – رواه الترميذي
Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku
akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu
golongan. Para sahabat bertanya, “Siapakah golongan itu, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Golongan berideologi dengan ajaran yang
aku dan sahabatku ajarkan”. (HR. Tirmidzi)
Juga disinggung dalam Sunan Ibnu Majah XI/1322, bahwa Nabi bersabda :
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ . – رواه ابن ماجه
Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada pada genggaman-Nya, sungguh
akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Satu golongan masuk sorga, 72
golongan lainnya masuk neraka. Ditanyakan pada beliau : “Siapakah satu
golongan yang masuk sorga, ya Rasulullah?” Beliau menjawab :” jama’ah
(golongan mayoritas, yakni mereka yang sesuai dengan sunnah para
sahabat). (HR. Ibnu Majah)
Dalam Al-Milal wa al-Nihal hlm. 13, disebutkan sebuah hadis, bahwa Rasul bersabda :
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ وَالْبَاقُوْنَ هَلْكَى. قِيْلَ وَمَنْ النَّاجِيَةُ ؟ قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة، قِيْلَ وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّة وَالْجَمَاعَة ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي، الْجَمَاعَةُ الْمُوَافِقُوْنَ لِجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ -رواه ابن ماجه.
Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat satu
golongan, dan sisanya binasa. Ditanyakan pada Beliau, “Siapakah golongan
yang selamat, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlussunnah wal
Jama’ah” Ditanyakan pada Beliau “Siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah itu?”
Beliau menjawab, “Golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku.
Al-Jama’ah adalah mereka yang bersesuaian dengan jejak golongan
Sahabat. (HR. Ibnu Majah)
Pada zaman Rasul saw. tidak ada perselisihan diantara para sahabat.
Akan tetapi, dengan mukjizatnya, Rasul telah mengetahui bahwa akan ada
perpecahan pada masa setelah beliau wafat. Karenanya, beliau
menyampaikan peringatan dan menggariskan bahwa golongan yang selamat
adalah orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran khulafa’ ar-rasyidin
dan golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rosul saw. dan sunah para
sahabatnya.
Sepeninggal beliau, pernyataan tersebut terbukti, umat Muhammad saw.
mengalami perselisihan. Awal-awalnya dipicu oleh sejumlah sebab,
diantaranya. tentang kewafatan Rasulullah saw. Sebagian sahabat
berpendapat bahwa Muhammad saw. tidak meninggal, namun diangkat,
sebagaimana Nabi Isa as. Namun perselisihan reda ketika Abu Bakar
as-Shiddiq tampil dan membacakan firman Allah swt. :
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ - الزمر : 30
Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). (QS. Az-Zumar : 30)
Dan Abu Bakar berseru, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka
sesungguhnya Muhammad telah mati. Dan, barangsiapa yang menyembah Tuhan
Muhammad, maka sesungguhnya Dia Maha Hidup, tidak akan pernah mati.”
Perselisihan kedua terjadi terkait pemakaman Rasulullah saw. Penduduk
Mekah menginginkan Rasul dimakamkan di Mekah, karena merupakan tempat
kelahiran beliau. Sementara itu, penduduk Madinah menginginkan beliau
dimakamkan di Madinah sebagai tempat hijrah dan tempat tinggal sahabat
Anshar. Pihak ketiga menginginkan beliau dimakamkan di Baitul Maqdis
karena merupakan makam nenek moyangnya, yakni Nabi Ibrahim as.
Perselesaian ini terselesaikan setelah Abu Bakar as-Shiddiq kembali
tampil dengan menyitir hadis Rasulullah saw :
إِنَّ الْأَنْبِيَاءُ يُدْفَنُونَ حَيْثُ يُقْبَضُوْنَ
Sesungguhnnya para nabi dimakamkan di mana ia diwafatkan
Akhirnya, Rasulullah saw dimakamkan di ndalem beliau di Madinah.
Perselisihan ketiga terjadi dalam kaitannya dengan imamah
(kepemimpinan). Bermula dari kaum Anshar yang membaiat Sa’ad bin ‘Ubadah
sebagai khalifah. Begitu kaum Muhajirin mengetahui hal ini, mereka yang
dipimpin Abu Bakar, Umar, dan ‘Ubadah, memasuki balai pertemuan kaum
Anshar sehingga terjadi perdebatan sengit. Kaum Anshor menginginkan agar
masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki pimpinan sendiri.
Persengketaan selesai setelah Abu Bakar kembali tampil dengan
menyampaikan sebuah pernyataan:
نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ
Kami (bangsa Quraisy) yang menjadi
pemimpin, dan kalian (golongan Anshar) sebagai menjadi menteri
(pembantu). Kepemimpinan di tangan bangsa Quraisy.
Maka kemudian dibaiatlah Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah.
Pada masa kepemimpinan beliau, yang selanjutnya diteruskan oleh Umar
bin al-Khaththab belum nampak adanya perselisihan yang berarti di
kalangan umat Islam, kecuali sebagian kecil kelompok yang benar-benar
menyimpang, seperti kelompok yang menolak membayar zakat, orang-orang
yang mengikrarkan dirinya sebagai nabi seperti Musailamah al-Kadzdzab,
segerombolan orang-orang yang murtad seperti Thulaihah yang kemudian
masuk Islam kembali pada masa kholifah Umar, dan lain-lain.
Sebelum Khalifah Umar wafat karena ditikam Abu Lu’lu’ al-Majusi,
beliau sempat merekomendasikan enam orang sahabat yakni Ali bin Abi
Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqash,
Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubadah, untuk menentukan
penggantinya. Akhirnya, terpilihlah Utsman bin Affan. Setelah beliau
resmi dibai’at sebagai khalifah, muncullah ketidakpuasan dari sebagian
golongan. Mereka sengaja memecah belah persatuan umat Islam dengan
mengadakan gerakan pemberontakan hingga terjadilah tragedi pembunuhan
Khalifah Utsman pada tahun 35 H.
Selanjutnya, Ali bin Abi Thalib tampil sebagai khalifah setelah
mendapatkan dukungan bai’at dari penduduk Madinah. Meski demikian,
perselisihan yang cikal bakalnya telah ada sejak masa kepemimpinan
Utsman, bukan malah mereda, bahkan semakin meruncing. Dalam menyikapi
tragedi pembunuhan Utsman, umat Islam terpecah dalam tiga golongan.
Golongan pertama, menuntut segera diadakan pengusutan pembunuh Utsman
sebelum diadakan pergantian pergantian khalifah. Mereka adalah
orang-orang dekat Utsman, diantaranya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Thalhah,
Zubair, Ummul Mu’minin Aisyah dan Amr bin ‘Ash. Golongan kedua,
berpendapat bahwa pergantian khalifah harus segera dilaksanakan, setelah
itu baru melakukan tindakan pengusutan pembunuh Utsman. Mereka adalah
Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang sependapat dengan beliau.
Golongan ketiga, menganggap bahwa pemberontakan yang berujung pada
pembunuhan Utsman telah prosedural, sehingga tidak perlu dilaksanakan
qishash.
Perseteruan di antara mereka, terutama antara kubu Khalifah Ali bin
Abi Thalib dan kubu Mu’awiyah tidak dapat diselesaikan dengan damai.
Akhirnya, meletuslah pertempuran antara kedua kubu hingga menimbulkan
banyak korban. Saat kubu Mu’awiyah mulai terdesak, mereka mengajukan
tawaran damai dengan mengadakan tahkim (penyelesaian dengan juru hukum)
dengan menunjuk wakil dari masing-masing kubu. Pada mulanya, Ali menolak
tawaran ini, karena dianggap hanya sebagai siasat belaka. Pendapat ini
amat didukung oleh sebagian pengikutnya. Namun atas desakan sejumlah
sahabat senior yang bijaksana, akhirnya Ali menerima tawaran tahkim.
Kubu Mu’awiyah mengajukan ‘Amr bin ‘Ash sebagai wakil, sementara kubu
Ali mengajukan Abu Musa al-Asy’ari, seorang yang terkenal sufi. Namun
demikian, tahkim tetap saja tidak menghasilkan sebuah kesepakatan.
Dari latar belakang sejarah ini, lahirlah sejumlah aliran teologi.
Pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak menyetujui tahkim akhirnya
membelot dan justru mengadakan perlawanan terhadap Ali sekaligus juga
Mu’awiyah. Kelompok pembelot ini kemudian dikenal dengan sebutan
Khawarij (secara harfiah berarti orang-orang yang keluar atau membelot).
Mereka tidak mau menerima fatwa dan riwayat hadis dari Utsman,
Mu’awiyah dan para sahabat yang menyetujui tahkim. Para sahabat tersebut
dianggap kafir karena menyetujui tahkim, yang menurut Khawarij,
termasuk dosa besar. Karenanya, termasuk salah satu ideologi Khawarij
adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar, atau orang yang tidak
segolongan dengan mereka, dianggap kafir. Golongan Khawarij ini
selanjutnya terpecah menjadi dua golongan. Masing-masing dari keduanya
saling mengkafirkan.
Di sisi lain, terdapat golongan yang sangat fanatik terhadap Ali bin
Abi Thalib ra. dengan mendukung dan mengagungkan beliau secara
berlebihan. Golongan ini disebut Syi’ah (secara harfiah bermakna
pengikut, yakni pengikut Ali). Mereka berkeyakinan bahwa legalitas
kepemimpinan Ali berdasarkan nash Al-Qur’an dan wasiat Nabi Muhammd saw.
Sedangkan Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman dianggap merampas jabatan
itu. Akibatnya, mereka tidak mau menerima hadits ahkam dan fatwa-fatwa
dari selain Ali bin Abi Thalib. serta keluarganya. Dengan rasa fanatik
berlebihan ini, mereka berkeyakinan bahwa andaikan Ali ra. bersalah atau
berbuat dosa, tidaklah mengapa, karena beliau adalah orang yang
beriman. Hingga sekarang pun, mereka berkeyakinan bahwa jika orang sudah
beriman, tidaklah mengapa melakukan kemaksiatan, sebagaimana pula orang
kafir, tidak ada artinya melakukan ibadah, karena mereka belum beriman.
Dalam perkembangannya, Syi’ah ini terpecah menjadi lima golongan yaitu
Kaisaniyyah, Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghaliyyah dan Isma’iliyyah.
(Keterangan selengkapnya mengenai Syi’ah dan Khawarij beserta
sekte-sekte sempalan dari keduanya, ada di bagian akhir risalah ini)
Golongan ketiga adalah golongan mayoritas yang kerap disebut
Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Mereka adalah golongan yang masih memiliki
komitmen terhadap sunnah Rasulullah saw. serta semua sahabat tanpa
membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Semua sahabat memiliki
sifat adalah (keadilan). Adapun perseteruan yang terjadi antara Ali bin
Abi Thalib ra dan Mu’awiyah merupakan masalah ijtihadiyyah
(interpretable). Jika ijtihadnya benar maka akan mendapatkan dua pahala
dan bagi yang salah mendapatkan satu pahala, sebagaimana jaminan dari
sebuah hadis :
مَنْ اجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ , فَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Barangsiapa yang berijtihad, dan hasil ijtihadnya benar, maka dia
mendapatkan dua pahala. Jika hasil ijtihadnya salah, maka dia
mendapatkan satu pahala.
Dalam perkembangannya, terdapat satu lagi golongan yang lahir pada
penghujung abad pertama hijriah, yakni Mu’tazilah (secara harfiah
bermakna yang menyendiri, hengkang). Bermula dari forum halaqah Hasan
al-Bashri, seorang ulama’ besar dari kalangan tabi’in. Salah seorang
murid beliau yang bernama Wasil bin Atha’ al-Bashri, mengajukan
pertanyaan kepada gurunya itu, mengenai nasib orang-orang yang melakukan
dosa besar, yang menurut Khawarij telah divonis kafir, sementara
menurut golongan lain masih dianggap orang-orang beriman, akan tetapi
“hanya” melakukan dosa besar. “Bagaimana menurut Anda?” demikian Wasil
menanyakan pada Hasan al-Bashri. Belum sempat dijawab, Wasil menjawab
pertanyaannya sendiri ”Menurut saya, para pelaku dosa besar tidak bisa
disebut beriman, tetapi juga dan tidak kafir. Mereka berada pada posisi
antara surga dan neraka (manzilatun bainal manzilataini)”. Setelah itu
Wasil keluar dari forum halaqah Hasan al-Bashri dan menyendiri (i’tizal)
mendirikan kelompok sendiri dan menyebut diri mereka sebagai ahlut
tauhid wal adli. Mereka berkeyakinan bahwa seseorang bisa masuk sorga
jika beramal. Tanpa amal wajib, seseorang akan masuk sorga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar