Meluruskan Pemahaman Jihad
Jihad dalam pengertian bahasa berasal dari akar kata Jahd yang
bermakna berusaha dengan sungguh sungguh dengan mengerahkan segenap
kemampuan. Dalam makna yang lebih luas jihad mempunyai pengertian
menanggulangi musuh yang nampak, syetan, dan hawa nafsu. Tercermin dalam
firman Allah :
وجاهدوا في سبيل الله حق جهاده
Dalam masa kini, jihad perlu kita artikan secara luas yakni
bersungguh-sungguh dan bekerja keras melakukan kebaikan. Dan menurut
ulama, jihad dapat dimanifestasikan dengan hati, menyebarkan syariat
Islam, dialog dan diskusi dalam konteks mencari kebenaran,
mempersembahkan karya bagi kemanfaatan muslimin dan dengan melawan
kekafiran. Artinya, jihad dapat dilakukan dengan berbagai cara, bukan
hanya dengan mengangkat senjata. [1]
Sedangkan makna “Sabilillah” dalam ayat tersebut menurut pendapat mayoritas ulama adalah melakukan segala bentuk ketaatan (Thoat).
Sehingga mengentaskan kebodohan dan kemiskinan merupakan contoh-contoh
jihad dalam makna semacam ini [2] . Kita bisa juga memahami “Sabilillah”
sebagai memerangi hawa nafsu seperti sabda Nabi dalam sebuah hadits :
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر
Kita telah pulang dari jihad kecil, pergi menuju jihad besar
Dalam Islam, kewajiban berjihad hanyalah dalam tataran perantara (wasilah) dengan sebuah tujuan utama membawa petunjuk (hidayah)
kepada umat manusia untuk menuju agama Allah SWT. Sehingga ketika
dengan media dakwah maupun transformasi pengetahuan hidayah sudah dapat
tercapai, cara-cara seperti ini jauh lebih baik daripada harus
mengangkat senjata [3]. Di samping itu, jihad yang kita artikan sebagai
memerangi kekafiran harus ditempatkan dalam koridor jelas. Artinya,
dalam jihad model ini prosedur maupun persyaratan di dalamnya sangat lah
ketat. Mirip dengan ketatnya persyaratan dalam melakukan amar ma’ruf
terutama ketika sudah masuk dalam konteks bermasyarakat dan bernegara.
Bagaimana mungkin perjuangan yang telah banyak mengabaikan etika
maupun prosedur berjihad bisa dinamakan jihad ?. Apalagi kekerasan yang
dilakukan telah banyak melanggar baik syariat maupun norma kemanusiaan,
diantaranya :
- Banyak mengorbankan mereka yang tidak berdosa.
- Media dan sarana yang digunakan sangat kontradiktif dengan warna jihad dalam Islam.
- Dampak negatif terhadap kaum muslimin lebih besar (kontra produktif)
- Mereka tidak menyadari bahwa jihad sangat erat kaitannya dengan wewenang pemerintah, bukan kelompok ataupun individu.
Artinya, mereka belum memahami jihad secara utuh, sekaligus belum memahami Indonesia secara sempurna.
Warga negara non muslim di negara kita harus ditempatkan dalam
bingkai syariat secara benar. Sehingga dapat dipahami, mereka tidak
seperti Harbi yang harus kita perangi dengan Jihad. Fi Dzimmati Ta’min
merupakan kata tepat untuk melukiskan bagaimana hak dan kewajiban mereka
sangat dilindungi dalam Islam. Bukan hanya itu, toleransi dengan mereka
pun menjadi kebutuhan yang tidak terlarang dalam Islam. Bahkan menjaga
hubungan dan hak mereka adalah kewajiban umat Islam.
Jihad secara utuh dapat dilakukan dengan berbagai cara, berjuang
dalam pendidikan, perekonomian dan bidang-bidang lain untuk kemaslahatan
umat Islam adalah jihad fi sabilillah. Justru cara-cara demikian lah
yang harus dilakukan sekarang ini di bumi Indonesia.
Islam sebagai agama yang diturunkan untuk seluruh umat manusia dan
relevan dalam segala dimensi, setiap konsepsinya tidak pernah lepas dari
tujuan pensyariatan. Seperti jihad, ia disyariatkan sebagai upaya
melindungi agama dari sesuatu yang mengancamnya. Ironisnya, term “jihad” merupakan
salah satu konsep Islam yang paling sering disalah-pahami, khususnya
oleh banyak kalangan, bahkan oleh bangsa kita sendiri. Ketika istilah
jihad disebut, citra yang muncul adalah pasukan Muslim menyerbu ke
berbagai wilayah di Timur Tengah atau tempat-tempat lain; memaksa
Non-muslim untuk memeluk agama Islam.Sebenarnya Islam adalah agama yang
rahmatan lil alamin; ia adalah rahmat bagi seluruh umat manusia. Ketika
menjelaskan diutusnya Nabi Muhammad, dalam Al-Quran disebutkan bahwa
Nabi adalah pembawa rahmat untuk semesta alam, sebagaimana firman dalam
al-Quran;
و ما ارسلناك الا رحمة للعالمين
Di samping itu, dalam Al-Quran Allah juga telah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang salah.” (QS. al-Baqarah (2): 256). Dan surat al-Mâidah: 48; “Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan hidup yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu.” Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah bisa saja
menjadikan manusia dalam satu agama jika Ia berkehendak. Akan tetapi
Allah telah menciptakan manusia dalam sebuah jalan hidup yang pluralis
(beragam) sebagai media pengujian bagi umat manusia, apakah dengan
pluralitas tersebut manusia dapat hidup berdampingan dengan
harmonis-humanis (ukhuwwah basyariyah).[4]Namun sayangnya, banyak
kalangan yang kurang mengerti esensi jihad yang ada dalam al-Quran,
memaksakan untuk mengaitkan jihad dengan terorisme. Oleh karena itu
sangat perlu lah kiranya untuk memahami esensi jihad yang telah lama
didefinisikan ulama dan diajarkan di pesantren-pesantren salaf.
Jihad secara leksikal adalah “mengerahkan upaya”, “berusaha”,
“berjuang keras”, atau lebih tepatnya ia melukiskan usaha maksimal untuk
melawan sesuatu yang salah. Dari pengertian ini, konotasi yang dimiliki kata jihad sangatlah komprehensif (lengkap). Makna pertama, jihad adalah mujâhadah, yakni perang spiritual melawan dorongan hawa nafsu. Kedua, jihad diartikan sebagai bentuk ijtihâd;
yaitu mencurahkan kemampuan guna menjustifikasikan hukum yang cukup
rumit melalui metode yang ketat dan diproyeksikan untuk mencetuskan
pendapat independen dalam yurisprudensi Islam, yakni dengan metode
analogi (qiyâs) dengan menggunakan fondasi ratio-legis (‘illat) yang terpetik dari al-Qur’an dan Hadîts. Ketiga, amr ma’rûf nahi munkar; atau
perjuangan menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan kaum
Muslimin untuk mengimplementasikan kewajiban-kewajiban syariat, serta
menyesuaikan dengan norma-norma etiknya. Keempat, qitâl fî sabîlillâh;
atau perang untuk membela agama dari sesuatu yang mengancamnya namun
harus dengan kode etik yang telah dijelaskan al-Qur’an dan Hadîts,
yakni khusus bagi kafir harbi (kafir yang memerangi umat Islam),2tidak
bisa diterapkan untuk non Islam yang hidup rukun dengan kaum Muslimin
seperti yang ada di bumi Indonesia ini.
Dari keempat arti jihad ini, menurut Nabi saw., mujâhadah adalah yang paling berat. Perjuangan mujâhadah
selain bersifat individual dalam menghadapi hawa nafsu, juga akhir
perjuangan itu berlangsung kontinue sepanjang hayat. Diceritakan, ketika
Rasulallah saw. baru saja pulang dari perang Badar, para sahabat banyak
yang merasa bangga dengan kemenangan mereka dalam peperangan itu,
karena dengan jumlah yang sedikit mereka dapat mengalahkan tentara yang
memusuhi Islam yang jumlahnya berlipat ganda. Tetapi Rasulullah saw.
dengan sedikit ucapan menyadarkan para sahabatnya. Beliau berkata: “Kita
baru saja kembali dari peperangan yang kecil menuju peperangan yang
amat besar, (bentuk jihad yan lebih besar) yaitu berjuang melawan hawa
nafsu” [5]
Jihad secara terminologis adalah mencurahkan kemampuan untuk menolak
agresi orang-orang kafir dengan jiwa raga dan harta. [6] Jihad merupakan
”upaya pencurahan tenaga secara fisik yang diproyeksikan untuk
mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka bumi guna mengakurasikan
tugas manusia sebagai khalifah-Nya. Yaitu mewujudkan tatanan kehidupan
yang damai dan penuh kerukunan dalam naungan syariat.
Pada dekade ini, sebenarnya yang harus mendapat perhatian lebih
adalah bagaimana agar manusia lebih mengenal Allah dengan
prinsip-prinsip yang telah diatur ulama untuk mengetahui sifat wajib,
mustahil, dan ja’iz bagi Allah dan rosul-Nya agar jiwa tauhid
manusia terjaga dari kesesatan; mempelajari hukum-hukum agama yang
berkaitan dengan ibadah dan muamalah dan upaya menghilangkan apa yang
menjadi hambatan-hambatan manusia untuk hidup secara layak dan penuh
kedamaian dan saling menghargai antar sesama manusia.
Upaya ini, menurut Abdul ‘Aziz al-Malibari, tidak hanya berlaku bagi
orang muslim, namun harus direalisasikan juga terhadap kafir dzimmi
(kafir yang tidak memusuhi orang Islam), musta’man (kafir yang mendapat
jaminan keamanan dari pemerintah). Dengan merekapun umat Islam harus
hidup bersama-sama untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan
sejahtera.
Berbicara mengenai dasar jihad telah disebutkan dalam al-Qur’an
secara jelas dalam QS. Al-Fath; 8-9 Al-Baqoroh 21. Disamping itu, telah
dijelaskan pula kode etik dalam pelaksanaannya; QS. Al-An’am; 104 dan
108. Prinsip dasar dan kode etik ini adalah patron yang harus dipenuhi
dalam ”berjihad”. Sehingga dalam QS. Al-Anfal 10 dan 16, QS. Al-Kahfi
28, Allah memberikan ”teguran” langsung bagi pihak manapun yang
melakukan da’wah, sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jihad,
dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah baku. Yaitu
dengan kebijaksanaan (hikmah), nasehat yang baik (mauidhoh), dan argumentasi yang dapat diterima pihak lain.
Fase-fase Jihad dalam Ranah Historis
Seperti halnya masalah lain, jihad diintruksikan secara gradual
(bertahap). Dalam karya-karya ulama salaf disebutkan metode tersebut
merupakan salah satu wahana dakwah Islam yang acap kali mewarnai
turunnya al-Qur’an. Ia dipandang sangat memperhatikan pertimbangan
psikis-antropologis dan sosio-kultural masyarakat saat itu, yang sedang
mengalami transisi dari kepercayaan dinamisme, animisme, dan henoteisme
atau politeisme ke monoteisme (tauhîd). Sehingga perlu adanya afirmasi (itsbât) hukum secara bertahap.
- Fase Deffensif
Informasi historis secara faktual menunjukkan, saat Nabi saw. mulai
mengembangkan sayap-sayap dakwah Islamiahnya, terdapat gerakan
pemurtadan dan reaksi penentangan keras yang datang dari penguasa Makkah
yang otoriter, diktator serta anarkis-teroris, pengusaha Makkah, kaum
feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi
lamanya, di samping juga khawatir jika struktur masyarakat dan
perekonomian mereka akan tergoyahkan oleh ajaran Nabi saw. yang
menekankan keadilan sosial dan persamaan derajat. Setelah mereka gagal
menghentikan laju dakwah Nabi saw. dengan memakai cara diplomatik dan
bujuk rayu, akhirnya kaum kafir Makkah menggunakan kekerasan fisik. Kaum
muslimin saat itu mendapatkan siksaan yang tidak manusiawi. Mereka
dicambuk, dipukul, tidak diberi makan dan minum, diterlentangkan di atas
tanah padang pasir dan di atas dadanya diletakkan batu besar. Utsman
bin affan dan Abu bakar misalnya, juga mendapatkan perlakuan yang tidak
jauh berbeda.
Dalam tahap ini, al-Qur’an belum mengizinkan jihad. Kaum Muslimin
saat itu diperintah untuk melaksakan shalat, zakat, menjunjung tinggi
persamaan derajat, menghindari Non-muslim yang selalu menteror orang
Islam, serta bersabar dan memaafkan atas penindasan dan penganiayaan
yang dilakukan oleh mereka. Jihad saat itu belum diizinkan oleh Allah
swt., karena disamping mereka berada di tanah Haram, juga
mempertimbangkan kuantitas kaum Muslimin yang hanya secuil dibandingkan
kekuatan kafir Makkah. Fase ini disebut tahap kaffu al-yad atau menahan tangan/menahan diri.
Banyak ayat yang menerangkan fase deffensive ini, seperti yang telah dilansir oleh al-Qur’an dalam surat al-Baqarah (2): 109 yang menyatakan: “Sebagian
besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kau
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari
diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintahnya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [7]
Ayat-ayat lain yang menerangkan fase ini juga dapat dijumpai dalam
QS. al-Nisâ’ (4): 77, al-An‘âm (6): 106, al-Insân (76): 24, al-Hijr (15): 85, al-Jâtsiyah (14): 45, Qâf (50): 39, dan al-Muzammil (73): 10. Sedangkan Hadîts yang menerangkan hal ini banyak sekali, di antaranya: “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah memerangi kaum.” (HR. Ibnu Hatim dari Ibnu Abbas).
- Fase Izin Berjihad
Penindasan demi penindasan terus berlangsung, setelah mereka gagal
dengan cara intimidasi, kaum Non-muslim Makkah akhirnya mendeportasi
kaum Muslim dari tanah air mereka. Melihat situasi seperti itu, Nabi
Muhammad saw. mencari solusi mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar
Makkah. Di antara mereka ada yang menuju ke Madinah, dan ada juga yang
diungsikan ke Abessinia atau Habasyah (Ethiopia). Rombongan yang terdiri
dari 10 orang pria dan 5 wanita berangkat. Di antara anggota rombongan
itu terdapat Utsman bin Affan beserta istrinya Ruqayyah, Zubair bin Awam
dan Abd al-Rahman bin Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua dipimpin
oleh Ja‘far bin Abi Thalib. Ada yang mengatakan rombongan ini terdiri
dari 80 pria. Sumber lain menyebutkan mereka terdiri dari 83 pria dan 18
wanita.
Berbagai usaha dilakukan kafir Quraysi untuk menghalangi hijrah ke
Habasyah, termasuk membujuk raja Habasyah agar menolak kehadiran umat
Islam di sana. Namun berbagai usaha itu gagal total. [8] Seiring dengan
pendeportasian ini (2 H.), turunlah ayat yang menyatakan: ‘’Telah
diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar kuasa
menolong mereka itu. (yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung
halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:
Tuhan kami hanyalah Allah.‘‘ (QS. al-Hajj (22): 39-40).
Dalam fase ini umat Muslimin sebatas ‘diizinkan’ berperang, belum
‘diperintahkan’ berperang dan melawan teror-teror kaum kafir. Ayat-ayat
lain yang menerangkan fase ini adalah al-Baqarah (2): 190, dan al-Nisâ’
(4): 77. Izin atau permisi jihad dalam fase ini hanya berlaku ketika
kaum Muslimin mendapat agresi dari kaum kafir terlebih dahulu, artinya
kaum Muslimin tidak diizinkan mendahului menyerang (offensive, hujûm) [9]
- Fase Wajib Jihad
Pada fase ketiga ini kaum Muslimin telah diwajibkan berjihad. Sebagaimana pernyataan wahyu Ilahiyyah (divine revelation): “Diwajibkan
(kutiba) atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu amat baik
bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal amat buruk bagimu;
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah(2): 216).
Intruksi dengan kalimat imperatif “kutiba” yang terdapat dalam ayat di atas menunjukkan wajibnya jihad. Kewajiban tersebut bersifat kolektif dan representatif (fardhu kifâyah).
Maksudnya, walaupun obyek kewajiban ini adalah seluruh komunitas Muslim
yang memenuhi kriteria sebagai subyek jihad, akan tetapi pelaksanaannya
hanya dicukupkan pada satu orang atau golongan, dan itu sekaligus dapat
menggugurkan dosa bagi orang lain yang tidak melakukannya. Kecuali jika
daerah Islam mendapat agresi dari orang-orang kafir, maka pada situasi
seperti itu kewajibannya berubah menjadi fardhu ‘ain,[10] bagi penduduk pribumi dan yang berdomisili di sekitar tempat itu dengan jarak kurang dari masâfah al-qasr.[11] Bagi orang-orang yang berada pada jarak melebihi jarak tersebut, hukumnya fardhu kifâyah. Hukum fardhu kifâyah
ini hanya berlaku apabila pasukan Muslim yang sedang bertempur di medan
perang telah mampu mengimbangi kekuatan Non-muslim. Sehingga tatkala
pasukan Muslim dalam situasi terdesak dan terpaksa dipukul mundur oleh
kekuatan kafir, maka hukum jihad menjadi fardhu ‘ain bagi semua
kaum Muslimin.[12] Namun jihad dalam fase ini juga tetap
mempertimbangkan kemapuan kaum muslimin, jika tidak mampu maka kaum
muslimin tidak diwajibkan untuk berjihad.
Ayat-ayat lain yang menyatakan kewajiban ini juga terlansir dalam
surat al-Baqarah (2): 244, al-Mâidah (5): 54, al-Anfal (8): 6, 8, 39
& 57, al-Taubât (9): 5, 12, 14, 29, 36, 73&123, dan Muhammad
(47): 4 & 22.
- Fase Terakhir serta Munculnya Madzhab Defensif (Difâ‘i) dan Ofensif (Hujûm)
Tiga fase jihad telah terlewati, mulai dari bersabar serta
memaafkan kaum kafir yang anarkis-teroris, diizinkan berjihad sampai
wajib berjihad. Pada awalnya kaum Muslimin dilarang memerangi kaum
kafir, kemudian disusul permisi dan intruksi jihad secara terbatas,
yakni hanya boleh sebatas upaya deffensive dari agresi kaum kafir. Nah, sekarang tiba waktunya Allah swt. menjelaskan limit (batasan) waktu pelaksanaan jihad. Dalam fase ini terdapat dalil transferensial (naqli) yang berbunyi:
وَقَاِِتلُوهُمْ حَتىَّ لاَ تَكُونَ فِتنَةٌ وَيكونَ الدِينُ للهِ فَاِنِ انْتَهَوْا فَلاَ عُدْوَانَ اِلاَّ عَلَى الظَاِِلمِينَ
”Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi, dan
(sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang zhalim.”(QS. al-Baqarah(2): 193).
Dalam mengomentari ayat ini, al-Qurthubi mengatakan, bahwa ayat ini
tidak menganulir ayat-ayat yang menerangkan fase-fase sebelumnya. Oleh
karena itu, intruksi ini hanya terbatas untuk memerangi
orang kafir yang melakukan agresi, penganiayaan, pemurtadan, dan
mendeportasi kaum Muslimin dari tanah airnya. Versi ini nampaknya merupakan hipotesis deduktif yang dipakai oleh sebagian ulama untuk membangun konsep “madzhab jihad deffensive”. Prinsip
dari paham deffensive ini adalah perang hanya dilakukan demi
mempertahankan diri dari tekanan dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh
pihak kafir.[13]
Islam memandang peperangan adalah suatu hal yang buruk karena
mengakibatkan jatuhnya korban dan rusaknya tatanan kehidupan, namun
dampak destruktif tersebut harus diabaikan jika memang genderang perang
ditabuh demi tujuan mulia, yaitu dakwah Islam dan membasmi kaum musyrik
yang “memerangi” kaum Muslim. Al-Qur’an sendiri tidak melegalisasi
peperangan kecuali demi mencapai empat tujuan: pertama,
memerangi kaum musyrik yang tidak mengindahkan dakwah Islamiyyah dan
mencoba melawannya. Lebih dari itu mereka juga mengintimidasi dengan
pelbagai siksaan demi membatalkan dakwah Islamiyyah. Terpotret jelas
dalam historis perjalanan Islam, Rasulullah swt. pernah melakukannya
demi tujuan tersebut; kedua, memerangi orang-orang yang merampas hak-hak orang Muslim, seperti memerangi pembegal dan sebagainya; ketiga,
memerangi orang-orang yang murtad, karena mereka dianggap membahayakan
agama dengan cara bertindak provokatif dan melakukan propaganda. Perang
ini pernah dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq sebagai upaya preservatif
terhadap agama; keempat, memerangi kelompok pemberontak (bughât)
yang menolak untuk taat kepada pemerintah, undang-undang, dan menolak
untuk memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Perang ini pernah
dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai upaya konservasi terhadap
“kesatuan umat Islam”.
Peperangan yang disyariatkan dalam Islam dan yang dipandang sebagai jihad adalah perang-perang dengan tujuan di atas. Maka
peperangan selain itu hukumnya adalah haram, seperti peperangan yang
dipicu oleh motifasi mendapatkan harta rampasan perang, unjuk kekuatan,
unjuk keberanian, kesombongan, pamer, fanatisme golongan (‘ashâbi‘ah),
balas dendam, kecemburuan, persaingan (rivalitas /munâfasah), malignitas
(‘adâwah) dan memperebutkan kedudukan. [14]
Peperangan yang bertujuan negatif adalah tercela dan tidak bisa dikategorikan jihad fî sabîlillâh.
Menurut satu pendapat, tidak semua peperangan bisa disebut jihad. Hanya
yang murni bertujuan menegakkan agama Islam yang disebut jihad.
Demikian pula jihad akan menjadi tercela jika disertai tujuan mencari
harta rampasan dan sebagainya. Mungkin pendapat ini terinspirasi oleh Hadîts yang menyatakan; “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal-amal kecuali yang bertujutuan murni.”
Al-Thabari dan mayoritas ulama cenderung mengarah pada tidak
tercelanya jihad yang disertai tujuan lain, dengan catatan kalau
tujuan-tujaun lain tersebut bukan tujuan utama. Hadîts
di atas diarahkan pada tidak diterimanya amal dengan tujuan ganda yang
sama-sama kuatnya, dalam arti keduanya adalah tujuan yang diprioritaskan
secara bersamaan. [15]
Bersambung ke Bag-2
__________________________________
[1] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah juz. XVI hal. 125
[2] Zad al-Masir jilid. III hal. 331
[3] I’anah at-Tholibien juz. IV hal. 181
[4] Dr. Abd al-Qadir Awdah, al-Tasyrî’ al-Jana’I al-Islâmi, Muassasah al-Risâlah, cet. XI, 1996, vol. I, h. 30-35.
[5] PT Ichtiar Baru van Hoeve, Ensiklopedi Islam, cet. 4, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, vol. III, h. 186.
[6] Dr. Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islam, Dar al-Fikr, vol. VI, h. 413-414. Lihat juga Dr. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, cet. I, Jakarta: PT. Temprint, h. 155-158.
[7] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsîr al-Qurthûbi, Dar al-Sya‘bi, vol. II, h. 71, vol. I, h. 62, vol. XVII, h. 203, & vol. XIX, h. 149. Lihat juga Isma‘îl bin Umar bin Katsir al-Damsuqi Abu al-Fida’, Tafsîr Ibn al-Katsîr, Dar al-Fikr, vol. I, h. 526.
[8] Ensiklopedi Islam. Op. cit., vol. III, h. 266.
[9] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi Abu Abdillah. Op. cit., vol. II, h. 347, vol. II, h. 35 & vol. V, h. 281. Lihat juga Isma‘îl bin Umar bin Katsir al-Damsuqi abu al-fida’. Op. cit., h. 227.
[10] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi Abu Abdillah. Op. cit., vol. III, h. 216. Dr. Musthafa al-Hin dan Dr. Musthafa al-Bugha, Fiqh al-Manhaji, Beirut: Dâr al-Qalam, cet. IV, 1996 M., jilid: III, vol. VIII, h. 116-118.
[11] Masâfah al-Qashr, menurut Ahmad al-Husayn al-Mishri=94,500 m. Versi al-Makmun=89,999,992 m. Dalam kitab Tanwîr al-Qulûb=86 km. Menurut Hanafiyyah=96 km. Menurut mayoritas ulama=119,999,88 m. Sedang menurut Wahbah al-Zuhayli dalam kitab Fiqh al-Islami=88,74 km. Lihat dalam buku “Mengenal Istilah dan Rumus Fuqaha”, penyusun Kelas III Aliyah 1997, Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
[12] Abi Zakaria Yahya bin Syarif al-Nawawi, Raudhah al-Thâlibîn, Maktabah al-Islâmi, vol. VII, h. 416. Lihat juga Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn bi al-Kuwait. Op. cit., vol. III, h. 168.
[13] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi Abu Abdillah. Loc. cit.
[14] Abd al-Rahman bin Khaldun (732-808 H./1332-1406 M.), Muqaddimah Ibnu Khaldûn, cet. Dar al-Fikr, h. 270.
[15] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nayl al-Awthâr, Beirut: Dr al-Jail, 1973, vol. VII, h. 244.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar