Amalan
ini adalah baik dan dianjurkan, dengan alasan.
1.
Dari
sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang
oleh agama. Diriwayatkan dari Abu Dawud, Nasai, dan Ahmad, pada masa Rasulullah
SAW., para sahabat juga membaca syair di Dari Sa'id bin Musayyab, ia
berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit
yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan
menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang
yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan
melanjutkan perkataannya.‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah saw.,
jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh
al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).
” Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya
kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata
krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila
Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).
2.
Dari
sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini
merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah
masyarakat.
Dzikir
adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan
kapanpun. Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati,
jiwa yang tulus, dan khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati
yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang
memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir
dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan
khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan
cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara
untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih
utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.
Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan
mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi saw. yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak
bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni
disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Contoh hadits yang menganjurkan untuk
mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini, "Aku
mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila
mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR
Bukhari dan Muslim). Ibnu Adra’ berkata, "Pernah Saya berjalan
bersama Rasulullah saw.
lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan
suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan
itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah saw. menjawab,
"Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan." Hadits
lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik
meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang
pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi."
Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut
penjelasan Imam Nawawi:
Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq)
antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang
mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu
lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat
atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak
mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang
yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus
merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan
ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar