Dalam
hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil
dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya,
sebagai berikut, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah
dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39). Juga hadits Nabi Muhammad SAW., “Jika
anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara;
shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan
dia.”
Mereka
sepertinya, hanya secara parsial memahami kedua dalil di atas, tanpa
menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil,
do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati.
Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW.
beberapa di antaranya, “Dan orang-orang yang datang setelah mereka,
berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang
telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hadith
dijelaskan, “Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi saw.; Ya Rasulullah
sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua
bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu
Dawud).
Di
dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa surat Al-Najm ayat 39
di atas diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang
musyrik, dan orang musyrik tadi berkata, “Kalau engkau kembali kepada agama
kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akhera.t”
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa
menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan
berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada
orang mati dan lain-lainnya.
Ibnu
Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata
bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak
sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’
telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang
yang hidup.
Dr.
Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka
fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442, sebagai berikut, “Sungguh para ahli fiqh
telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang
yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., seraya berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami
melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut
pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw. bersabda: Ya! Sungguh
pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya
mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana
salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah
tersebut dikirimkan kepadanya!"
Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Dalil Tahlilan
Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat
suci Al-Qur’an, dzikir(Tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dll),
Sholawat dan lain sebagainya yg bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang
membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangkan
sampainya amalan tsb (karena keterbatasan ruang & waktu maka kami sampaikan
sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan disambung karena masih
ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama ulama yang sering
dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui adanya acara tahlilan
diantaranya pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani
dll..
Dalil Sampainya Amal Bacaan Bagi Mayyit
1.
Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr:
10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman
karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum
mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari
istighfar orang yang masih hidup.
2.
Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan
do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara
lain, Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia
berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW. – setelah selesai shalat
jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia,
sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya,
mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan
sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal
yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari
keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari
siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit
dikuburkan, Rasulullah saw.
bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra
berkata:” Adalah Nabi SAW. apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri
lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati
untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur
antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW.:
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau
saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW. menjawab, “Ucapkan: (salam
sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan
semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang
dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya
pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra
bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu
ia datang kepada Nabi SAW. unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW. sesungguhnya
ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya
bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul saw. menjawab: Ya, Saad
berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan
untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya
Pahala Saum
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa
Rasulullah SAW. bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai
kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan
Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya
Pahala Haji
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari
Juhainnah datang kepada Nabi saw. dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar
untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah
haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena
hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
3.
Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a
dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya hutang
mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini
berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang
seorang mayyit
sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi saw.
bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah
mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
4.
Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal.
Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak
dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan
utang setelah wafatnya.
Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah
badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya
puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat,
dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak
sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Adapun dalil yang menerangkan shadaqah untuk mayit pada
hari-hari tertentu seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan
ke-40 yaitu hadits marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid
bin Umair dan Mujahid yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-hadits mutlak (tidak
ada qaid hari-hari untuk bershadaqah untuk mayit) di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-orang mati itu akan mendapat
fitnah (ujian) di dalam alam kubur
mereka tujuh hari. Maka mereka (para sahabat) itu menganjurkan untuk
memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat
Ubaid bin Umair:
Terjadi fitnah kubur
terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang munafiq. Adapun
terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang munafiq dilakukan
40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat
Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selama tujuh
hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya.
Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua
malaikat Munkar dan Nakir itu mengulangi pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam
satu waktu. Lebih jelas dalam soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’
ats-tsuraiya di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty dalam kitab “
Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Tambahan:
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an
untuk mayyit (Orang Mati)
A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar
tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya
Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan
awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga
adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam
Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari
sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah
mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut,
beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat
dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit
(pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga
karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap
negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka
yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat
oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan
isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar
dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan
hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat sedangkan ini adalah
pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu
membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan
pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan
diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan
lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian
menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu),
maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan
Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah
SAW. bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya
dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I,
Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW.,
Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara
kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya
Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad
al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin
Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab,
al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni
kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik
adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah,
sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu
Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad
Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan
menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah,
maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan
haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguhnya mayyit itu dapat
beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan
seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab ibnu taimiah
berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada hal. 324. Ibnu
taimiah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil,
bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan
tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih, takbir dan lain-lain zikir
sekiranya disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus
serta baik.
Mengapa
Wahhabi menolak dan menyesatkan
amalan ini.
Di atas adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk
fatawa juz 24 hal. 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil
70000 kali dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan itu adalah amat
memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah:
“sesuatu yang paling utama
dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan
berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya
kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya
sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin
wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah
dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas
bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin
Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan
kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’
bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang
lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping
kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada
halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq,
menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat
jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin
Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang
lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini
berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping
kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam
Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah,
bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab :
“Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan
sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku
Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia
berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan
surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar
berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah
dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul
qayyim al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad
makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat
bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an
atau selain demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan
pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-orang anshar
jika ada diantara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke
kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam sya’bi ini juga
dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum :
“Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada
mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin
berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala
bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat
inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad
al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggak
hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut
jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan
berdasarkan pendapat yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi : “telah
ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka
seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar
karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits :
“Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah
al-qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama
ahlussunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan
untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam
risalah ini karena khawatir akan terlalu
panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafii
Untuk menjelaskan hal ini marilah
kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal
sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur
dari madzab Syafii dan sekelompok ulama adalah tidak sampai.
Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafii
berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca
menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522
: “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafii menurut qaul
yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar,
adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. Dan
seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh
berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka
kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih
utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala
bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala
bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur
tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari
mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul
yang masyhur dalam madzhab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an
itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan
untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya
pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul
Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli :
Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1.
Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan
Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan
samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh
Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang
meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala
bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping
kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula
pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih
baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan
dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan
dihadapan mayyit agar disamping
meniatkan untuk si mayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah
selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat
oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab
I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dalil orang yang membantah
adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya
kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu
mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah
Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk
menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits
tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk
memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu
(terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang
mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu
kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang
yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari
tanggungan hutang.
Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar hutang
itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh
manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat
39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya
apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi
kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan
bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para
ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya
hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455
diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1.
Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan
sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal
yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya.
Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya.
Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala
dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari
usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin
yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal
sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik
didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang
lain.
Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan
iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari
kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia
sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian
itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum
mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2.
Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan
sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan
seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa
yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan
sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa
yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang
lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi
huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan
arti “milik”).
Demikianlah
dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum
Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW.), maka mereka
bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang
terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi
Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya
apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi
kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya
tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang
utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh
(dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami
hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam
sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh
Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur
ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan
anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu
mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap
orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat
an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan
sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata
: “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min
thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi
seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat
An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak
kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan,
maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits
shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias
dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat
al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang
kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada
kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa
kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan).
Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia
usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan
bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang
akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan
bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang
kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya
kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang
dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin
ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan
kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan
hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak
akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali
terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks
ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya
seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap
seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal.
456).
(ringkasan dari Buku argumentasi
Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman, halaman
142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi
Ummat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar